Sabtu, 24 Januari 2015

Rokok Penghasilan Alternatif

Berhubung karena Admin Pajjaiang bukan seorang perokok, jadi untuk artikel ini membahas tentang rokok dari sisi finansial dan bisnis. Saya jadi teringat cerita sewaktu SMA dulu, ceritanya tentang seorang pasien berobat kedokter. Saat memeriksa si pasien, si dokter bertanya, 
dokter : "anda perokok?"
pasien : "iya dok.." jawabnya sambil terbatuk-batuk
dokter : "berapa bungkus rokok yang anda hisap tiap harinya?"
pasien : "sekitar 3-5 bungkus dok"
dokter : "wah, coba anda bayangkan, jika 1 bungkus rokok Rp.15.000 x 3 bks = 45.000, anda tabung dalam sebulan bisa 1.350.000. Dalam setahun bisa Rp.16.200.000. Uang sebanyak itu jika anda buat sebagai modal usaha, mungkin gedung tinggi yang disebelah itu bisa jadi milik anda.." kata sidokter memberikan motivasi sambil menunjuk sebuah gedung perkantoran 40 lantai.
pasien : "tapi masalahnya dok...." jawab si pasien ingin membantah
dokter : "tapi masalahnya apa? karena sudah terlanjur?"
pasien : "bukan dok...."
dokter : "terus masalahnya apa?"
pasien : "gedung disebelah itu, memang milik saya dok...!"
Si dokter bengong sesaat, sambil malu-malu, dia memberikan kertas resep kepada si pasien.


Nah, sekarang permasalahannya, apakah gedung disebelah itu milik anda juga??? hehe... Amin.
Setiap kali cukai rokok naik, selalu ditanggapi dengan gerutu para perokok. Bahkan bisa jadi ibu-ibu yang tidak merokok pun mengeluh karena kenaikan cukai rokok pasti diiringi kenaikan harga jual rokok yang –memang- pada akhirnya akan membebani anggaran rumah tangga. Bayangkan seorang ayah dalam keluarga bisa membakar percuma Rp360.000 sebulan (asumsi konsumsi rokok sebungkus sehari, harga Rp12.000).
Bila konsumsinya lebih sebungkus, dan atau harga rokoknya lebih mahal, atau lebih satu orang yang merokok dalam satu keluarga, maka bisa dihitung pemborosan pundi-pundi rumah tangga setiap bulannya. Rata-rata belanja rokok ini bisa mencapi Rp500 ribu, setengah juta rupiah per orang setiap bulan, atau Rp6 juta setahun! Angka yang tidak sedikit dibandingkan dengan kenyataan pendapatan per kapita rakyat Indonesia yang masih berkisar $4000 (Rp48 juta). Bayangkan, setidaknya 12,5% penghasilan hanya dibakar habis dalam kepulan asap rokok! Jutaan puluhan juta orang Indonesia yang tak pernah memiliki penghasilan per kapita sebesar Rp48 juta, beban biaya rokok pastilah sangat mencekik.
Rokok telah menduduki posisi demikian penting dalam keluarga Indonesia. Dan ini merupakan hal yang serius mengingat ada sekitar 67% pria dewasa Indonesia merupakan perokok (Global Adult Tobacco Survey, 2011), terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India. Perokok Indonesia diperkirakan menghabiskan setidaknya Rp120 triliun per tahun untuk belanja rokok (Thabrany, 2008). Angka yang sangat besar bagi sebuah negara yang masih sarat aneka permasalahan sosial.
Rilis data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah sekitar 10,96% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 27.730.000 orang (2009: 32.530.000 orang). Namun menurut data Bank Dunia, ada tambahan setidaknya 68 juta lagi orang Indonesia yang statusnya sedikit di atas batas garis miskin, alias rentan miskin. Artinya, guncangan ekonomi sedikit saja seperti termasuk kenaikan biaya hidup, sakit, PHK, ataupun bencana alam, seketika akan menjadikan mereka miskin.
Bagi setidaknya lebih 95 juta orang Indonesia ini, belanja Rp500 ribu untuk rokok, jelas sangat memberatkan ekonominya. Bukankah Rp500 ribu itu setara dengan 42 kg beras, dan bisa dimakan oleh satu keluarga lebih sebulan? Bagi banyak keluarga, Rp500 ribu sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk berusaha dan meningkatkan ekonomi keluarga…dan seterusnya. Namun faktanya, dari tahun ke tahun, di kalangan penduduk miskin, rokok merupakan barang kedua yang dibeli setelah beras! Dengan kata lain, rokok menjadi penyebab orang miskin makin miskin.
Langkah-Langkah Mengurangi Perokok
Di sisi lain pemerintah tidak bisa serta merta menutup pabrik rokok dan melarang penanaman tembakau. Sektor perkebunan tembakau dan cengkeh serta pabrik rokok merupakan lapangan kerja bagi jutaan orang dan keluarganya. Yang bisa dilakukan saat ini adalah pembatasan-pembatasan agar rokok tidak terlalu “disukai” masyarakat, antara lain dengan aturan peringatan (walaupun tulisannya besar, tetap saja bagai tulisan alien yang tidak dimengerti perokok) dan gambar di kemasan rokok, pembatasan penayangan iklan rokok hanya di jam-jam tertentu, peningkatan edukasi tentang bahaya merokok, serta memberlakukan larangan merokok di tempat-tempat tertentu.
Selain itu, rokok tidak boleh tersedia dalam harga murah sehingga mudah dibeli, termasuk oleh remaja. Rokok harus mahal, supaya pada akhirnya orang akan mengurangi konsumsinya, bahkan berhenti membeli rokok karena pertimbangan ekonomi. Itulah sebabnya pemerintah menerapkan cukai yang tinggi agar rokok tidak tersedia dengan harga murah di pasaran. Maka harus dipahami bahwa cukai adalah alat kontrol, bukan sarana mencari pemasukan negara.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan cukai untuk mengontrol jumlah perokok. Upaya menekan masyarakat perokok dengan kebijakan cukai yang tinggi juga diberlakukan oleh pemerintah Korea. Maklum sekitar 44% pria dewasa Korea merupakan perokok dan dianggap menjadi masalah serius bagi ekonomi negara dan kesehatan warganya. Mulai 1 Januari 2015 ini harga rokok di Korea naik sekitar 80%, dari 2500 won (Rp27.500) menjadi 4500 won (Rp49.500).
Karenanya kenaikan cukai rokok harusnya disambut gembira oleh rumah tangga Indonesia, sambil ikut berusaha juga mengontrol perokok dalam keluarga masing-masing. Alangkah elok, bila secara sadar, perlahan-lahan para perokok mengalihkan anggaran rokok ke belanja rumah tangga yang lebih produktif, seperti makanan sehat, pendidikan, atau ditabung. Jika kita beranda-andai.. seandainya konsumsi rokok dikurangi atau dihilangkan, maka bisa juga angka kemiskinannya berkurang! Semoga dimasa mendatang, belanja rokok tidak lagi menjadi penyebab kemiskinan keluarga Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar